Breaking News:

|
Anda ingin beramal?, satu klik anda sangat berharga bagi kami, silakan klik iklanSittidibawah ini, setelah itu bagikan artikel ini, terimakasih kami ucapkan kepada anda

Tendensi Demokrasi Dua Agama

Penulis : Ekta Yudha Perdana



Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti Egalite (Persamaan) Equality (Keadilan) Liberty (Kebebasan), Human right (Hak asasi manusia).


Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pionner dan garda terdepan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (Credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.

Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu atau anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang berkeadilan.

Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam.


Jika dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia yang bermula dari ( Al-khusumah Al-Kanisah) atau istilahnya perang geraja ( red : Anwar Jundi Manhaj Al- Ghorb). Yang saat masyarakat Eropa sangat membenci otoritas pihak gereja, yang terkadang irrasional kebijakan geraja. Contoh melarang untuk belajar di negeri muslim, terkhusus Andalusia sekarang terkenal dengan sebutan Spanyol. Karena umat muslim pada saat itu menjadi pusat peradaban dunia yang sebagaimana dirasakan Eropa saa ini. Bukankah itu hasil dari para syeakh dan dosen yang telah mengajarkan mereka di Andalusia tempo dahulu.

Di sini penulis mengutip tulisan Syeakh Muhammad Abduh tentang bahwasanya yang menjadikan mereka (Eropa) itu maju bukan karena agama mereka, yang sering mereka dengungkan. Dan kita juga sering membaca atau pun mendengar perkataan mereka tentang bahwasanya yang menjadikan umat kami lebih maju dibandingkan dengan umat Islam adalah karena agama kami. Atau istilah yang sering mereka gunakan adalah Inna Aur- Rubba ummah biruh Al- Kanisah (bahwasanya kami Eropa umat dengan ruh gereja). Yang mengatakan bahwa agama umat Islam itu menyembah patung dan umat Islam mempunyai ajaran yang salah. Dan itu semua dibantah oleh Syeakh Muhammad Abduh atas kesalahan Barat dalam prespektif yang berkenaan dengan Islam. Di antaranya:



1) Kristen didirikan atas kepercayaan kepada Mukjizat. Gospel mengajarkan bahwa bukti kebenaran kristen ditampakan melalui kemukjiztan semacam itu mengacaukan alam dan hukumnya. Ini menunjukan bahwa kristen tidak ilmiah dan tak ada kaitan peradaban Eropa. Karena setiap studi menunjukan bahwa alam semesta punya hukum abadi dan ada sebab dan alasan di balik setiap gerakan. Orang yang hanya percaya bahwa dirinya dapat berubah dengan doa saja tentu tak dapat menemukan riset ilmiah.

2) Prinsip kedua kristen adalah otoritas pendetanya, seperti termaktub dalam Mathias 16:19’ kuberikan kepadamu kunci kerajaan langit. Apa pun yang engkau ikat di bumi akan terikat, dan apa pun yang terlepas akan terlepas,’ ini bertentangan bahwasanya Kristen adalah agama yang rasional, yang mendorong kebebasan berfikir. Faktanya, pendeta Kristen punya kuasa menentukan apakah seseorang itu Kristen atau bukan, dan juga punya kuasa untuk mengucilkan. Orang yang beriman seseungguhnya tidak leluasa dengan apa yang diimaninya, juga tidak dapat bertindak dengan rasional akalnya. Sesungguhnya mereka terikat dengan penilaian pemimpin agama. Bahkan orang Prostestan yang mempunyai kebebasan untuk menginterpretasikan kitab sucinya tidak mengubah klaim bahwa Bibel adalah sumber pengetahuan bagi umat manusia. Akal manusia tidak leluasa; akal menusia tidak bisa menggantikan apa yang diajarkan dalam kitab.

3) Kristen mengajarkan kepada penganutnya untuk menjauhi dunia, orang kristen diperintahkan untuk mengabdi kepada ajaran tuhan dan menjauhkan diri dari dunia yang termaktub dalam Mathias 6:10,19. Gospel bahkan menyerukan kepada penganutnya untuk membujang, jelas sesuatu yang bertentangan dalam ajaran tuhan yang menyerukan untuk mempunyai keturunan dibumi dan terus berkembang.

Itulah dari bantahan kepada Eropa yang mengatakan bahwasanya demokrasi dan kemajuan yang diraih mereka saat ini dikarenakan karena agama mereka, Itu pembohongan publik dan media massa. Dan ternyata mereka maju bukan karena ajaran agama Kristen atau ajaran gereja.


Dalam perspektif Islam tentang elemen-elemen demokrasi meliputi: Syura, musawah (Persamaan) Al-a’daalah (Keadilan) Amanah (Kredibilitas), Masuliyyah (Responsibilitas ) dan Hurriyyah (Kebebasan ) bagimanakah makna masing-masing elemen tersebut?


Pertama Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam Al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Al- Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah Ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

Kedua Al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana untuk tergapainya kesejahteraan.

Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”.

Ketiga Al-Musawah adalah kesejajaran artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam. Pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur, adil, dan profesional. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip Al-syura dan Al-‘adalah. Diantara dalil Al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.

Keempat Al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa :58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.

Kelima Al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (Al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai Sayyid Al-ummah (Penguasa umat) melainkan sebagai Khadim Al-ummah (Pelayan umat) dengan demikian. Kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.



Keenam Al-Hurriyyah adalah kebebasan artinya bahwa setiap orang setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan Al-akhlaq Al-karimah dan dalam rangka Al-amr bil ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat maka kezaliman akan semakin merajalela. Bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya?


Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin.

Memang harus diakui karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan dimana pada awal munculnya dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis. Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar.

Itulah yang penulis bisa sampaikan, bahwasanya agama kita sempurna dalam mengatur tatanan kehidupan jika kita kembali ke ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Di dalamnya telah diajarkan bagaimana mengatur kehidupan dunia ini yang cukup pelik, terkadang kita terjatuh, jika kita lupa akan ajaran ini (Islam).

Posted by Pelatihan blog4 on 21.11. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive